Rabu, 13 Oktober 2010

APBN Pendidikan dan Mahalnya Biaya Pendidikan


PENDAHULUAN

Dalam sebuah artikel yang dilansir oleh Harian Kompas (22 Januari 2010) menyatakan bahwa indeks pembangunan pendidikan Indonesia meningkat. Indeks Pembangunan Pendidikan atau Education Development Index (EDI) Indonesia berada pada urutan 65 dari 128 negara. Hal ini berada pada tingkat sedang setaraf dengan Malaysia dan Filipina dan di atas dari India, Kamboja, Laos dan Nigeria.
Kenyataan ini perlu disyukuri, akan tetapi tidak boleh melupakan bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki. Menurut Ferdiansyah yang merupakan salah satu anggota Komisi X DPR mengemukakan di harian Kompas (22 Januari 2010) bahwa meskipun berdasarkan data yang dilansir pemerintah menyatakan bahwa pencapaian pendidikan dasar sudah selesai, nyatanya di jalanan kota-kota besar masih banyak anak usia wajib belajar yang tidak berada di bangku sekolah saat jam belajar. Fakta tersebut bertentangan dengan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional yang mengatakan bahwa pendidikan yang dilaksanakan tidak boleh diskriminatif dan pemerintah terus bekerja untuk mengatasi hambatan anak-anak belajar dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Salah satu penyebab adanya diskriminatif dalam pendidikan adalah masalah biaya pendidikan. Sebagaimana diketahui bahwa biaya pendidikan di Indonesia sangat mahal dan sangat memberatkan masyarakat Indonesia yang kebanyakan masih berada pada taraf ekonomi menengah ke bawah. Sebagai contoh, di kota-kota besar seperti DKI Jakarta rata-rata calon siswa SMA Negeri dibebani iuran peserta didik baru (IPDB) sebesar 3 juta (ada juga yang lebih mahal) selain pungutan yang lain (www.suarakarya-online.com). Selanjutnya untuk masuk ke perguruan tinggi (PT) akan lebih mahal lagi.
Semua pihak seharusnya memiliki empati pada pendidikan yang merata bagi semua rakyat dan karena itu harus murah dan dapat diakses orang miskin. Semua pihak juga harus punya konsep pendidikan untuk mencerdaskan bangsa dan memajukan bangsa, sehingga menghindari komersialisasi pendidikan. Perlu disadari bahwa pendidikan yang tidak merata karena mahalnya pendidikan akan berdampak kepada semua aspek kehidupan bermasyarakat. Pengangguran, kriminalitas dan kemiskinan akan meningkat, sedangkan pertumbuhan ekonomi dan kesehatan akan mengalami kemunduran.
Walaupun perlu disyukuri bahwa pendidikan dasar sembilan tahun akan dapat diakses gratis untuk seluruh masyarakat seperti yang dijanjikan pemerintah. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat pemerataan pendidikan menjadi salah satu cita-cita bangsa. Oleh karena itu, berbagai undang-undang disahkan dan dana dialokasikan untuk cita-cita itu. Namun, berbagai pernyataan jaminan negara atas pendidikan itu tak lebih retorika.Komitmen pemerintah dalam pembiayaan pendidikan juga dimanifestasikan melalui anggaran pendidikan yang akan meningkat menjadi 20 persen sesuai dengan UU Nomor 41/2008. Akan tetapi, meningkatnya anggaran ini masih memiliki banyak hambatan terutama untuk mensinkronkan dengan UU otonomi daerah dan UU BHP. Hasilnya adalah banyak daerah yang menyalahartikan undang-undang tersebut seperti yang terjadi di Papua dan Lampung (biayapendidikan.com/pemerataan-pendidikan.html).
Idealnya, meningkatnya anggaran pendidikan akan meningkatkan pemerataan pendidikan. Artinya bahwa, seluruh masyarakat dapat menikmati pendidikan baik yang kaya terutama yang miskin, selain itu semua sekolah memiliki sarana yang cukup dan masyarakat dapat menikmati pendidikan yang bermutu. Selanjutnya, dampak yang lebih jauh adalah meningkatkan ekonomi dan kesehatan masyarat, seperti yang diilustrasikan oleh Komaruddin Hidayat bahwa Malaysia dan Singapura dapat meningkatkan ekonomi masyarakatnya karena pada awalnya meningkatkan anggaran pendidikannya, akan tetapi hal itu berbeda yang terjadi di Indonesia.
Pertanyaannya yang kemudian muncul adalah apakah yang terjadi dengan anggaran pendidikan ini? Mengapa biaya pendidikan mahal? dan mengapa anggaran pendidikan yang meningkat tidak meningkatkan mutu pendidikan. Masalah-masalah ini akan dikemukakan pada makalah ini.


ANGGARAN PENDIDIKAN INDONESIA

Ketersediaan sarana pendidikan yang memadai sangat tergantung oleh besarnya biaya yang diperuntukkan bagi pendidikan per unit, maupun alokasi dana bagi pendidikan dari APBN serta persentase biaya pendidikan dari PDB (Tilaar, 2003: 151). Dengan demikian diperlukan adanya kemauan atau political will dari pemerintah dan para pemegang amanat rakyat (DPR) untuk dapat lebih peduli kepada pendidikan.
Anggaran pendidikan saat ini telah mencapai angka 20 persen dari APBN sesuai dengan UU yang diperjuangkan sedemikian susah. Anggaran ini menurut Jazuli Juwaini berkisar pada angka 213 trilyun rupiah yang akan digunakan untuk membenahi mutu pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama di seluruh Indonesia. Lebih lanjut Juwaini menyatakan bahwa 60 persen dari dana tersebut akan digunakan untuk mutu dan sarana prasarana pendidikan (Kompas, 8 Oktober 2009).
Dengan anggaran yang sedemikian besar sangat diharapkan adanya percepatan pembangunan mutu pendidikan sehingga semua peserta didik mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi dapat merasakan pendidikan yang bermutu. Selanjutnya yang tak kalah pentingnya adalah pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia dengan biaya pendidikan yang rendah kalau perlu gratis, tapi mutu tetap didapatkan.
Sebagai masyarakat, kita mungkin sangat mengharapkan pendidikan yang murah tidak menjadikan pendidikan yang murahan seperti yang saat ini terjadi. Faktanya di Indonesia sekolah-sekolah yang bermutu dan dikatakan favorit mewajibkan semua siswanya untuk membayar mahal tak terkecuali bagi sekolah negeri yang merupakan sekolah yang dibangun dari uang rakyat. Sedangkan sekolah-sekolah yang murah bahkan gratis, bukanlah sekolah yang bermutu, bahkan tidak layak disebut sebuah sekolah. Yang lebih menyakitkan, perhatian pemerintah yang ditunggu-tunggu tidak juga datang sehingga membuat ada kesenjangan antara yang kaya dan miskin dalam memperoleh pendidikan.
Menurut Surakhmad, masyarakat kita sekarang ini terkontaminasi dengan adanya isu pendidikan gratis tapi tidak mengedepankan pendidikan yang bermutu, yang paling penting adalah gratis dulu. Ini merupakan hal yang harus dipikirkan, yaitu bagaimana pendidikan gratis tetapi dengan mutu yang lebih baik (2009: 163).
Pemerintah memang telah menganggarkan dana pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN, tapi ketika dunia pendidikan saat ini mulai memasuki era neoliberal pendidikan, dana sebanyak itu menurut sebagian kalangan masih terasa kurang. Kita memang patut sadar, bahwa masih banyak sektor-sektor publik lain yang harus diperhatikan oleh negara ketika membuat kebijakan-kebijakan liberalisasi. Meskipun demikian, kebijakan yang dapat mendorong majunya dunia pendidikan harus diperioritaskan oleh pemerintah. Bila tidak, maka dunia pendidikan kita akan terus berada dalam krisis mutu dan krisis kalah saing dari negara-negara berkembang lainnya.
Negara Jerman, Perancis, dan Belanda adalah negara berkembang yang juga menghadapi persoalan yang sama dengan negara Indonesia dalam menyikapi liberalisasi dalam sektor-sektor publik. Namun, di bidang pendidikan mereka tetap memberi subsidi yang memadai. Malaysia misalnya contoh terdekat. Dahulu negara jiran ini yang belajar tentang pendidikan kepada Indonesia, dan para tenaga pendidik kita selalu diminta untuk mengajar di sana. Tapi kini realitasnya sungguh terbalik, saat ini kitalah yang menjadikan Malaysia sebagai referensi kemajuan dalam hal pendidikan. Ini disebabkan karena pihak pemerintahan Malaysia memberikan perhatian yang cukup baik bagi kemajuan pendidikannya.
Fakta lain juga menunjukkan keseriusan suatu negara untuk meningkatkan anggaran pendidikan dapat meningkatkan semua sektor yang lain. Menurut Soedijarto (2008: 348) negara-negara maju seperti AS, Inggris, Jerman, Perancis dan Jepang, disusul Korea Selatan, Taiwan dan Malaysia adalah negara-negara yang berpegang pada paradigma “to build nation build school”.
Pada amandemen UUD 1945 pasal 31 dinyatakan dengan tegas bahwa; Ayat (2): “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Ayat (4): “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekuarng-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerahn untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Ayat (5): “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia” (Soedijarto, 2008: 352).
Amandemen UUD dasar di atas secara tegas menyebutkan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, akan tetapi kenyataan yang kita lihat masih banyak anak usia sekolah dasar yang tidak dapat mengikuti sekolah dasar karena ketidakmampuan dalam biaya pendidikan. Selanjutnya dikatakan bahwa anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD tapi kenyataannya setelah tiga tahun amandemen itu disetujui dan ditandatangani, baru pada tahun 2010 “mungkin” dapat direalisasikan. Padahal dalam diktum ketetapan tersebut disebutkan bahwa ketetapan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu tahun 2006.
Kemauan dari pemerintah dan anggota DPR dalam sektor pendidikan memang perlu dipertanyakan. Sebagai perbandingan semua negara maju dalam sektor ekonomi, industri, teknologi, ilmu pengetahuan dan lain-lain, telah meletakkan pendidikan sebagai elemen utama dan mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Kini rata-rata anggaran pendidikan anggota Uni Eropa adalah 5 persen dari PDB, Belanda 7 persen dari PDB atau 37 persen dari APBN. Di Asia, Indonesia merupakan yang terendah, hanya 1,4 persen dari PDB, sedangkan negara lain, Nigeria 2,4 persen dari PDB, Sri Lanka 3,4 persen dari PDB, India 5,1 persen dari PDB, Malaysia 5,2 persen dari PDB, Brunei 4,4 persen dari PDB, Vietnam 2,8 persen dari PDB, Filipina 3,4 persen dari PDB, Thailand 5,0 persen dari PDB, Korea Selatan 5,3 persen dari PDB dan Jepang 7,0 persen dari PDB (Soedijarto, 2008: 355).
Banyak alasan sehingga Indonesia terendah dalam mengalokasikan anggaran pendidikan. Yang paling utama adalah dana tidak mencukupi, sektor-sektor lain juga membutuhkan dana sehingga apabila pendidikan diprioritaskan, maka yang lain tidak akan terbangun dan akan menghambat laju perekonomian Indonesia, dan pada akhirnya terimbas pula pada pendidikan.
Pemikiran-pemikiran yang tidak peduli terhadap pendidikan ini perlu dikritisi, sebab pendidikan harus menjadi pilar utama untuk mendorong sektor-sektor lain. Akan sangat mustahil menghasilkan pemikir-pemikir dan praktisi-praktisi ekonomi misalnya tanpa pendidikan yang baik. Tenaga-tenaga kesehatan yang handal adalah produk-produk dari pendidika. Apabila pendidikan tidak ditingkatkan, maka yang terjadi adalah semua sektor akan ketinggalan dengan sendirinya.
Sesuai dengan UUD yang ada, maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk menyukseskan upaya pemenuhan hak anak memperoleh pendidikan dengan langkah-langkah antara lain, sebagaimana yang dikemukakan Abdullah (2005: 229) sebagai berikut:
  1. Menyediakan anggaran yang memadai yang memungkinkan terpenuhi seluruh kebutuhan pendidikan anak usia sekolah dan kebutuhan tenaga pendidik memperoleh penghasilan dan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai.
  2. Menidentifikasi peserta didik yang berprestasi guna pemberian beasiswa dan tenaga pendidik yang berprestasi untuk pemberian insentif.
  3. Mengidentifikasi orang tua peserta didik yang tidak mampu ekonominya.
  4. Mengintegrasikan program-program pengentasan kemiskinan.
Selanjutnya Abdullah (2005: 230) mengemukakan peran DPR dalam upaya memenuhi hak anak untuk memperoleh pendidikan, adalah sebagai berikut:
  1. Membuat kebijakan yang mendukung upaya dan program pemerintah untuk melaksanakan UU tentang sisdiknas, utamanya yang terkait dengan hak anak memperoleh pendidikan.
  2. Membuat kebijakan yang mendukung dan atau menentukan porsi APBN yang terkait dengan butir satu.
  3. Mengawasi pelaksanaan butir satu dua di atas.
  4. Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi masyarakat, utamanya yang terkait dengan hak anak memperoleh pendidikan.
  5. Mengadakan penyelidikan bila dipandang perlu dan atau meminta keterangan pemerintah, utamanya yang terkait dengan masalah hak anak memperoleh pendidikan.
  6. Mengusulkan peraturan bila dipandang perlu, utamanya yang terkait dengan hak anak memperoleh pendidikan.
Pernyataan tersebut di atas, mewajibkan kepada pemerintah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi dan DPR sebagai mitranya. Dengan demikian sangat wajar apabila DPR memperjuangkan terpenuhinya hak anak memperoleh pendidikan dengan mengalokasikan anggaran yang memadai. Kemudian pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan seharusnya segera merealisasikan alokasi anggaran sekurang-kurangnya 20 persen kalau bisa lebih di luar gaji guru.

BIAYA PENDIDIKAN YANG MASIH MAHAL

Kemajuan teknologi mendorong perubahan kehidupan dari sistem agraris menjadi sistem industri sejak beberapa abad lalu (abad 19-20). Sejak saat itu, terjadi pergeseran filsafat hidup dari spiritual menjadi positivisme-materialistik. Industrialisasi berkepentingan melipatgandakan produksi barang-barang kebutuhan hidup secara lebih praktis dan pragmatis. Selanjutnya, sistem perindustrian berpengaruh kuat terhadap munculnya sistem politik kekuasaan. Ketika spirit politik kekuasaan bersinergi dengan sifat perindustrian, sistem perekonomian kapitalistik pun mendapatkan keleluasaan (Suhartono, 2007: 31).
Dengan filsafat hidup yang demikian manusia akan terdorong untuk memunculkan perekonomian kapitalistik dalam semua aktifitas termasuk dalam pendidikan. Pendidikan yang kapitalis yang lebih mementingkan pendapatan dan mengabaikan hak-hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan akan memunculkan lembaga-lembaga pendidikan yang komersil. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut akan mementingkan kuantitas dan pendapatan lembaga tanpa ada kontrol kualitas keluaran, sehingga pada akhirnya menghasilkan lulusan yang hanya mengejar ijazah untuk menjadi PNS bukan untuk menjadi orang kreatif yang dapat mempekerjakan orang lain.
Dalam kehidupan keseharian kita dalam pendidikan, banyak bermunculan lembaga yang tidak bermutu. Sekalipun ada yang bermutu harus dibayar mahal oleh peserta didik, dan akan memunculkan diskriminasi dalam pendidikan. Yang kaya akan mendapatkan pendidikan yang bermutu sedangkan yang miskin mendapatkan pendidikan yang tidak bermutu bahkan tidak mendapatkan pendidikan sama sekali.
Dalam republik yang demokratis, sebagaimana Indonesia mengklaim diri, kewarganegaraan adalah konsep yang sakral. Warga negara adalah alasan keberadaan negara; paradigma pengelolaan negara berpusat pada warga negara. Konstitusi negara pun dibangun seluruhnya untuk kepentingan warga negara. Semua ini harus tecermin dalam investasi negara untuk warga negara. Salah satu investasi negara yang amat, mungkin paling, penting adalah pendidikan dan betapa pendidikan nasional kita kenyataannya diskriminatif terhadap kelompok paling miskin. Meski tidak intensional, diskriminasi ini sistemik dan dampak negatifnya terhadap masa depan bangsa luar biasa besar.
Menjadi kenyataan yang amat menyedihkan, oleh karena ketiadaan biaya, anak-anak dari kelompok miskin akan terus berguguran di jenjang SD, SMP, dan SMA, tanpa pernah ada kesempatan untuk sampai di perguruan tinggi. Bukan karena mereka tidak mampu secara akademik, tetapi karena mereka tidak mampu membeli kesempatan itu.
Sistem pendidikan nasional kita telah menjadi ajang rebutan orang kaya. Di ajang rebutan orang kaya, anak miskin yang menjadi korban menumpuk amat tinggi. Dampak yang segera terlihat adalah kian sempitnya kemungkinan mobilitas ke atas melalui jalur pendidikan bagi mereka. Selanjutnya, kelompok ini tidak akan mampu mengangkat diri sendiri keluar dari kemiskinan.
Kondisi itu memiliki dampak jangka panjang yang amat luas terhadap survival bangsa ini secara keseluruhan. Kita bisa membayangkan berapa talenta yang mati hanya karena keluarga mereka tak mampu menanggung beban biaya pendidikan. Tokoh Lintang dalam film/buku Laskar Pelangi adalah personifikasi yang baik dari masalah ini. Lintang yang genius harus puas menjadi pengemudi truk karena kemiskinan keluarganya. Lintang bukanlah kasus yang terisolir. Lintang adalah fenomena umum di Indonesia.
Dengan segala upaya dari semua pihak, kecenderungan diskriminatif ini harus berubah. Bila tidak, lupakan saja impian untuk menjadi pemain dalam persaingan global antarbangsa. Sebaliknya, apa yang dikhawatirkan Bung Karno akan terjadi: kita akan menjadi ”bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa”.
Gejala ke arah sana sudah ada. Indonesia adalah salah satu eksportir buruh dan pembantu rumah tangga terbesar; tenaga kerja Indonesia saat ini sudah menjadi salah satu sumber devisa utama. Membalik arus diskriminasi terhadap kelompok miskin dalam pendidikan nasional kita harus menjadi salah satu key performance indicator dari Mendiknas. Selain alokasi dana yang adekuat, penghematan sistemik, program yang cerdas, dan tata kelola yang baik di jajaran Diknas, diperlukan untuk mencapainya.
Biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua, maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tak langsung berupa keuntungan yang hilang (earning forgone) dalam bentuk biaya kesempatan yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar (Cohn, Thomas Jone, Alan Thomas dalam Fattah, 2004: 23).
Biaya-biaya pendidikan yang termaktub di atas, merupakan hal yang harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat sebagai warga sekolah. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah sering terjadi kebanyakan biaya yang termaktub di atas ditanggung oleh siswa, yang pada akhirnya membuat biaya pendidikan menjadi mahal.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mahalnya biaya pendidikan, yaitu: 1) kurangnya dukungan dan subsidi pemerintah, 2) anggaran pembiayaan sekolah tidak efektif dan efisien, 3) Kurangadanya demokratisasi dan transparansi pengelolaan sekolah, 4) Lemahnya pengawasan dan pengontrolan pungutan biaya sekolah dari pemerintah, 5) Kurangnya kesejahteraan guru, 6) Tidak ada standardisasi biaya operasional sekolah.
Kurangnya Dukungan dan Subsidi Pemerintah
Pemerintah pada saat ini telah menganggarkan 20 persen dari APBN untuk pendidikan, akan tetapi hal itu belum juga mencukupi karena 20 persen tersebut sudah termasuk dalam gaji dan tunjangan guru. Di sisi lain, kesadaran rendah para pemimpin daerah juga menjadi pemicu mahalnya pendidikan. Otonomi melimpahkan kewenangan dan tanggung jawab besar kepada pemerintah daerah. UU BHP, misalnya, memberi kewenangan pemerintah daerah mengatur penyelenggaraan SD, SMP, dan SLTA (Pasal 21). Konsekeunsinya, tanggung jawab pembiayaan yang besar juga harus dipikul pemerintah daerah. Dalam konteks SD-SMP seperti diatur Pasal 41, masih harus ditegaskan berapa yang harus ditanggung pemerintah pusat (60 persen) dan 40 persen pemerintah daerah. Yang jelas, pemerintah daerah juga diwajibkan menanggung minimal 1/3 biaya operasional SLTA. Itu semua adalah ketentuan di atas kertas. Prakteknya, pewujudan tanggung jawab daerah dalam pembiayaan pendidikan amat tergantung komitmen dan niat pemimpin setempat.
Anggaran Pembiayaan Sekolah Tidak Efektif dan Efisien
Manajemen pembiayaan sekolah bertujuan untuk menjamin ketersediaan biaya penyelenggaraan pendidikan. Setiap tahun sekolah perlu membuat Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) di mana di dalamnya sudah mengalokasikan sumber pembiayaan. Sumber-sumber pembiayaan tersebut meliputi; bantuan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dana masyarakat, dan sumber lain seperti hibah, usaha sekolah, dan pinjaman sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sekolah yang baik adalah jika persentase penerimaan dana masyarakat dan usaha lainnya lebih besar dari persentase penerimaan bantuan pemerintah (Arismunandar, 2006: 19).
Efisiensi pendidikan artinya memiliki kaitan antara pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang terbatas sehingga mencapai optimalisasi yang tinggi. Dalam biaya pendidikan, efisiensi hanya akan ditentukan oleh ketepatan di dalam mendayagunakan anggaran pendidikan dengan memberikan prioritas pada faktor-faktor input pendidikan yang dapat memacu pencapaian prestasi belajar siswa. Untuk mengetahui efisiensi biaya pendidikan biasanya digunakan metode analisis keefektifan biaya (cost effectiveness method) yang memperhitungkan besarnya kontribusi setiap masukan pendidikan terhadap efektivitas pencapaian tujuan pendidikan atau prestasi belajar (Fattah, 2004: 35).
Manajemen yang baik dari pihak sekolah dalam mengelola keuangan dan pembiayaan akan meningkatkan ketersediaan anggaran sekolah. Namun sebaliknya, kenyataan yang terjadi di sekolah pada umumnya, apalagi menyangkut keuangan akan sulit sekali diatur. Fakta yang sering terjadi banyak sekolah yang tidak kreatif dalam membuat usaha sekolah untuk meningkatkan keuangan sekolah. Salah satu yang sering terjadi adalah pihak sekolah sangat bergantung pada dana dari masyarakat melalui komite sekolah selain yang berasal dari pemerintah pusat/daerah.
Hal yang sering muncul adalah dalam rancangan pembiayaan. Terdapat sekolah hanya mementingkan rekreasi dan kebutuhan para guru dalam pembiayaan, sehingga rancangan pembiayaan untuk hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan siswa dan pembelajaran. Hal ini membuat anggaran pembiayaan sekolah tidak efektif dan efisien. Mungkin akan lebih baik kalau dana yang ada untuk membiayai alat-alat sekolah seperti media pembelajaran sehingga dana yang ada betul-betul untuk kemajuan pendidikan anak didik. Hal ini akan menekan yang harus ditanggung anak didik.
Kurangadanya demokratisasi dan transparansi pengelolaan sekolah
Demokratisasi pendidikan merupakan implikasi dari dan sejalan dengan kebijakan mendorong pengelolaan sektor pendidikan dan daerah, yang implementasinya di tingkat sekolah. Berbagai perencanaan pengembangan sekolah, baik rencana pengembangan sarana dan alat, ketenagaan, kurikulum serta berbagai program pembinaan siswa, semua diserahkan pada sekolah untuk merancangnya serta mendiskusikannya dengan mitra horizontalnya dari komite sekolah (Rosyada, 2007: xii).
Gagasan demokratisasi ini didasari oleh pertimbangan yang simpel, yakni memperbesar partisipasi masyarakat dalam pendidikan, tidak sekedar dalam konteks retribusi uang sumbangan pendidikan, tetapi justru dalam pembahasan dan kajian untuk mengidentifikasi berbagai permintaan stakeholder dan user sekolah tentang kompetensi sisiwa yang akan dihasilkannya. Dengan demikian, diperlukan adanya transparansi dalam pengelolaan.
Sekolah yang mengabaikan demokratisasi dan transparansi dalam pengelolaan sekolah berarti memiliki masalah yang akan ditutupi. Hal yang sering ditutupi biasanya dalam pengelolaan keuangan. Hal inilah yang biasanya memicu adanya persekongkolan dalam keuangan dan akibatnya membebani masyarakat dalam pembiayaan.
Lemahnya pengawasan dan pengontrolan pungutan biaya sekolah dari pemerintah
Pungutan iuran peserta didik baru (IPDB) atau uang pangkal untuk siswa SMA/SMK negeri seharusnya ditiadakan. Hal tersebut dilakukan karena sangat memberatkan masyarakat selain itu masih banyak terdapat masyarakat yang termasuk dalam kategori miskin. Kalaupun itu dilakukan untuk membantu kelancaran pendidikan dan partisipasi masyarakat terhadap sekolah, seharusnya diawasi dan dikontrol sehingga tidak terlalu membebani masyarakat.
Pungutan uang pangkal yang dilakukan oleh seluruh SMA/SMK negeri dalam setiap penerimaan siswa baru (PSB), selain tidak jelas payung hukumnya, juga tidak pernah diaudit. Pengawasan dan pengontrolan dalam hal ini sangat dibutuhkan karena kemungkinan ada beberapa masyarakat yang tidak bisa sekolah karena tidak mampu membayar iuran yang dipungut oleh sekolah. Jelas sekali hal ini memicu biaya sekolah yang mahal.
Kurangnya kesejahteraan guru
Dalam Undang-undang ditegaskan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Namun kenyataannya, banyak guru yang tidak memperoleh kesejahteraan tersebut sesuai dengan undang-undang. Hal ini akan memicu kurangnya profesional guru dalam melaksanakan tugasnya.
Biasanya yang dilakukan sekolah dalam mensejahterakan gurunya adalah dengan memungut biaya dari siswa untuk membantu keuangan guru, terutama sekali bagi guru yang belum berstatus PNS. Dengan demikian, aturan-aturan seperti ini kembali akan membebani siswa dengan iuran tersebut. Jadi, yang perlu dilakukan adalah memberikan kesejahteraan bagi guru termasuk yang bukan PNS sehingga mereka tidak memungut iuran dari siswa.
Tidak ada standarisasi biaya operasional sekolah
Kaplan dan Northon (dalam Sagala, 2007: 223) menjelaskan ada 2 faktor yang mempengaruhi anggaran yang dinamis yaitu anggaran operasional dan strategi anggaran. Anggaran operasional adalah anggaran yang berhubungan dengan meramalkan pengeluaran penyelenggaraan program baik yang berkaitan dengan manajemen sekolah maupun manajemen pembelajaran. Anggaran strategi memiliki suatu kekuatan inisiatif untuk mengatasi kesenjangan antara keinginan berperilaku kurang baik dan kemauan keras mencapai sesuatu melalui peningkatan yang berkesinambungan.
Kedua anggaran tersebut memerlukan standarisasi sehingga arahnya menjadi jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa standarisasi anggaran yang jelas akan mengakibatkan pengeluaran anggaran yang tidak bertanggung jawab dan mengakibatkan anggaran yang dikeluarkan tidak efektif apalagi efisien. Oleh karena itu, perlu perencanaan yang jelas terhadap anggaran sehingga dapat ditetapkan standar yang jelas dan memungkinkan biaya pendidikan dapat lebih murah.
Selain hal-hal yang umum di atas, besarnya biaya belajar para siswa di Indonesia juga disebabkan oleh tiga hal;
Pertama, seragam sekolah, tidak ada anak Indonesia yang mau bersekolah jika mereka tidak memilik seragam. Bahkan mereka yang bisa bersekolah tanpa seragam pun justru merasa belum menjadi murid sungguhan karena belum punya seragam sekolah. Tanpa disadari, komponen kecil yang satu ini menjadi momok tersendiri bagi para orang tua murid dan murid sekolah di Indonesia. Tak perlu susah memikirkannya seperti apa. Saat anak masuk sekolah pertama kali, kelas satu SD, mereka sudah wajib memiliki seragam. Sekaya apapun anak tersebut, dia tidak boleh menjadi murid di suatu sekolah apabila ia belum memilik seragam. Kalau anak orang kaya saja tidak boleh bersekolah tanpa seragam apalagi orang miskin.
Tidak sampai di situ saja, membeli seragam sekolah pun tidak bisa cuma sekali. Seiring dengan perkembangan fisik anak, orang tua setiap tahun harus memperbaharui baju sekolah anak mereka. Makin cepat perkembangan fisik seorang anak, makin sering pula orang tua harus membeli seragam baru bagi anaknya. Kemudian biaya ini belum sampai di situ, seragam siswa SD, SMP, dan SMA memiliki perbedaan. Baju seragam putih tapi celananya merah (SD), biru (SMP), dan abu-abu (SMA).
Kedua, beban biaya sekolah juga disebabkan oleh komponen buku pelajaran. Dari dulu sampai sekarang, orang tua murid harus menyediakan sendiri buku pelajaran sekolah bagi anak-anak mereka. Buku apa yang digunakan oleh murid sekolah tergantung dari persetujuan bisnis antara pihak sekolah dan penerbit buku. Seandainya orang tua murid harus membeli buku dari penerbit A dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar, maka ini bukan perkara besar. Sayangnya, pengandaian itu selamanya terjadi dalam kenyataan. Tidak jarang harga buku yang dijual di sekolah lebih tinggi daripada harga pasar, harga toko buku. Ini bisa terjadi karena, satu, adanya oknum sekolah yang ingin meraup keuntungan sendiri dan karena penerbit buku harus membayar komisi besar kepada sekolah sehingga mereka membebankan biaya komisi itu pada orang tua murid.
Pengadaan buku secara gratis dengan sistem online oleh Diknas, seperti yang dilakukan tahun lalu, ternyata belum bisa menyelesaikan persoalan mahalnya pengadaan buku. Belum tersediannya fasilitas internet yang menjangkau masyarakat di daerah pedesaan atau terpencil menjadi kendala bagi para murid dan orang tuanya. Pun, seandainya mereka memiliki akses ke internet, biaya pencetakan buku menjadi kendala lainnya. Untuk membuat masalah menjadi lebih rumit, Diknas memilik hobi untuk mengganti-ganti kurikulum nasional sesuka hatinya. Penggantian kurikulum jelas akan berimbas pada buku pelajaran para murid.
Ketiga, biaya-biaya tambahan saat bersekolah menjadi penyebab dari mahalnya bersekolah di Indonesia. Biasanya, pengeluaran rutin orang tua murid untuk biaya sekolah anaknya adalah: 1) iuran sekolah (bulanan, puji syukur kalau tidak pernah naik), 2) seragam, 3) buku pelajaran 4) biaya Study Tour (biasanya cuma sekali, buat SMP dan SMA, dan ini juga tergantung tempat tujuan kunjungannya, makin jauh makin mahal).
Sayangnya, pengeluaran rutin ini menjadi tidak rutin apabila sekolah menambahkan biaya lain yang tidak jelas. Misalnya biaya acara pesta perpisahan untuk murid tingkat akhir. Biaya ini harusnya tidak dibebanka bagi murid kelas satu dan dua. Kalau murid kelas tiga ingin mengadakan pesta perpisahan sendiri, mereka harusnya mengumpulkan uang dari diri mereka sendiri. Contoh biaya tidak jelas lainnya adalah penggalangan dana untuk keperluan yang dibuat-dibuat, seperti, pelepasan pensiun pegawai sekolah, pembelian sarana sekolah, penggalangan dana untuk guru yang sedang berduka atau melahirkan, dan lainnya.
Dari ketiga hal yang sudah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa menggratiskan biaya sekolah di Indonesia adalah hal yang hampir mustahil. Ini sangat diyakini karena pemerintah Indonesia tidak akan pernah punya uang untuk memberi seragam apalagi memperbaharui seragam sekolah setiap murid di Indonesia. Pemeritah juga tidak akan sanggup memberikan buku-buku gratis apabila kurikulum nasional terlalu sering berganti-ganti, dan yang lebih mustahil adalah membuat anggaran untuk mendanai kegiatan-kegiatan sekolah yang di luar kurikulum dan di luar urusan mengajar belajar. Karena itu, setiap usaha untuk menggratiskan biaya bersekolah para murid di negara ini sebaiknya dialihkan pada pencarian cara untuk mengurangi biaya sekolah para murid-murid Indonesia. Sikap ini jauh lebih realistis dan layak untuk diperjuangkan oleh para anggota DPR, staf Diknas, dan seluruh rakyat Indonesia.
Demikian beberapa pernyataan yang mengindikasikan dan menyebabkan biaya pendidikan menjadi mahal. Kemauan atau political will dari pemerintah dan pemegang amanat rakyat untuk memberikan perhatian khusus dalam hal dengan menyediakan anggaran yang memadai. Pengelola pendidikan juga harus lebih fokus dalam mengatur anggaran yang ada sehingga dapat dimanfaatkan dan dipertanggunjawabkan dengan benar. Dengan mengatasi masalah-masalah yang mengakibatkan biaya mahal, maka penyelenggaraan pendidikan dapat lebih diefektifkan dan diefisienkan.

ANGGARAN PENDIDIKAN TINGGI DAN BIAYA SEKOLAH MAHAL

Amandemen Pasal 31 UUD 1945 berisi lima ayat yang dengan tegas dan jelas menginstruksikan kepada pemerintah untuk (Soedijarto, 2008: 369-370); pertama, membantu putra-putri terbaik bangsa untuk mengikuti pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, bukan hanya membebaskan mereka dari membayar SPP, melainkan memberikan beasiswa kepada putra-putri terbaik bangsa di mana pun untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi.
Kedua, pemerintah harus membiayai sepenuhnya penyelenggaraan pendidikan dasar yang wajib diikuti oleh setiap warga negara usia sekolah. Ini berarti pemerintah tidak hanya membebaskan mereka dari membayar SPP, melainkan juga harus membantu anak usia sekolah memperoleh pendidikan yang bermutu.
Ketiga, pemerintah wajib mengupayakan agar semua sekolah di Indonesia, terutama sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah, dapat diselenggarakan sesuai dengan standar nasional yang ditentukan oleh pemerintah, baik tenaga guru, sarana dan prasarana, kurikulum, proses pembelajaran, serta alat-alat dan media pendidikan terutama buku murid dan buku guru.
Keempat, pemerintah wajib membiayai universitas, terutama negeri, agar dapat berperan menyiapkan sarjana yang bermutu, menghasilkan iptek melalui kegiatan penelitiannya, dan dapat ikut berperan dalam proses pembangunan masyarakat negara bangsa sebagai wujud dari upaya melaksanakan tanggung jawab konstitusional sebagaimana tertulis dalam Pasal 31 Ayat (5) UUD 1945, yaitu memajukan Iptek.
Kewajiban-kewajiban di atas membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Oleh karena itu, anggaran yang sekarang sudah mencapai 20 persen untuk pendidikan seharusnya digunakan dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa anggaran tersebut tidak akan mencukupi apabila tetap disiasati untuk tidak terlalu membebani APBN. Sebagai contoh, anggaran untuk pendidikan tersebut juga diperuntukkan untuk gaji guru dan tunjangannya. Dengan demikian, anggaran yang ada akan tetap tidak mencukupi karena harus dibagi untuk beberapa sektor lain seperti gaji guru tersebut.
Perlu dipahami pula bahwa, pemerintah sangat sedikit dalam menganggarkan penelitian. Padahal, pemerintah perlu memahami bahwa penelitian ini sangatlah penting dalam menunjang tercapainya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai perbandingan, India telah menanggung 89 persen dari kebutuhan dana pendidikan nasionalnya sehingga saat ini telah menikmati kemajuan ipteknya. Demikian pula terhadap negara-negara maju yang lain seperti Amerika, China dan sebagian besar negara Eropa (Soedijarto, 2008: 371).
Selanjutnya Sodijarto (2008: 372) menjelaskan secara detail tentang unit cost dalam pendidikan, yaitu;
Alternatif I
a. Pendidikan Dasar : Rp58 trilyun
b. Pendidikan Tinggi : Rp26 trilyun
c. Pendidikan Menengah : Rp16,5 trilyun
d. Pendidikan Prasekolah : Rp 1 trilyun
e. Pendidikan Luar Sekolah : Rp2,5 trilyun
Total : Rp104 trilyun
Ditambah dana untuk PLB dan pendidikan guru menjadi:
Alternatif II
a. Pendidikan Dasar : Rp71 trilyun
b. Pendidikan Tinggi : Rp26 trilyun
c. Pendidikan Menengah : Rp16,5 trilyun
d. Pendidikan Prasekolah : Rp 1 trilyun
e. Pendidikan Luar Sekolah : Rp2,5 trilyun
Total : Rp117 trilyun
Perkiraan perhitungan tentang kebutuhan dana untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan nasional yang relevan dan bermutu, yang mencapai Rp107 trilyun sampai Rp117 trilyun, hakikatnya baru merupakan kebutuhan minimum. Dengan dana tersebut sistem pendidikan kita, dalam pengertian sarana dan prasarana, belum dapat memenuhi standar sekolah-sekolah di negara tetangga, terutama Singapura dan Malaysia. Namun dengan terpenuhinya kebutuhan minimum tersebut, seluruh anak usia sekolah akan dengan bahagia dapat belajar. Dengan dana sejumlah itu, sekolah-sekolah kita diperkirakan sudah dapat mulai menerapkan empat pilar belajar. Dengan kata lain, lembaga pendidikan kita sudah dapat mulai berfungsi sebagai pusat pembudayaan kemampuan, nilai, dan sikap sebagai bagian dari transformasi budaya menuju masyarakat modern, maju dan demokratis berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Soedijarto, 2008: 375).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa anggaran pendidikan di Indonesia mulai tahun ini akan dianggarkan sesuai dengan amanat UUD 1945 sebesar 20 persen dari APBN. Artinya bahwa, anggaran pendidikan berkisar 213 trilyun. Anggaran yang cukup besar untuk sebuah pembangunan sektor pendidikan apabila dikelola dengan baik.
Pengelolaan anggaran dalam hal ini perlu diperhatikan mengingat Indonesia sebagai sebuah negara besar sangat rentan terhadap penyelewengan anggaran. Apalagi bila tidak dibarengi dengan pengawasan yang berkala dari aparat hukum, maka anggaran yang besar ini tidak akan berjalan dengan efektif dan efisien. Intinya adalah perlu ada pengawasan mulai dari pusat sampai ke daerah.
Selanjutnya, perlu ada tindakan yang serius dari pemerintah untuk mengalokasikan anggaran kepada program-program yang berkaitan langsung dengan proses pembelajaran. Program-program yang tidak sesuai akan mengakibatkan pemborosan anggaran dan membuatnya sia-sia dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Dari kesemua pernyataan di atas, perlu adanya kemauan keras dari anggota dewan untuk membuat regulasi yang jelas terhadap anggaran yang akan dikeluarkan sehingga betul-betul dapat proteksi dari hal-hal yang menyimpang. Kemudian pemerintah sebagai penyelenggara perlu memberikan program-program yang jelas terhadap setiap pengeluaran anggaran sehingga dapat terjadi sinkronisasi dari pemerintah dan dewan.
Satu permasalahan yang muncul sekarang adalah dengan anggaran yang besar tadi, masih perlukah pendidikan yang mahal bagi rakyat?. Idealnya dengan anggaran yang besar dari pemerintah untuk pendidikan, maka tidak selayaknya rakyat Indonesia tidak bersekolah hanya karena persoalan biaya. Pendidikan yang mahal dengan berbagai pungutan perlu ditinggalkan.
Pembiayaan sekolah untuk hal-hal yang kurang pas perlu ditiadakan. Program-program yang bisa membebani orang tua siswa perlu segera direvisi. Yang perlu dilakukan sekarang adalah menggunakan anggaran yang ada untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Hal ini sangat tergantung kepada kemauan pimpinan pada sebuah lembaga pendidikan.
Seorang pemimpin yang baik akan lebih mengupayakan sumber dana dari usaha yang poduktif ketimbang harus membebani anak didik dengan biaya terlalu tinggi. Sebagai contoh; program perpisahan, study tour perlu ditinjau ulang untuk diminimalisir, atau program-program tersebut bisa diadakan tapi tidak membebani anak didik dengan pungutan. Pemimpim perlu mencari sumber dana yang lain untuk merealisasikannya.
Dengan penggunaan anggaran yang baik, maka biaya mahal pendidikan tidak akan terjadi lagi. Seperti yang terjadi pada saat ini banyak sekolah yang memungut dana dari masyarakat dengan alasan untuk peningkatan mutu sekolah. Padahal sekolah yang baik adalah sekolah yang dapat menggunakan dana serendah mungkin tapi tetap mempertahankan mutu yang baik.
Sekali lagi perlu adanya kemauan keras dari semua untuk lebih peduli kepada pendidikan. Pemegang amanat rakyat (DPR), pemerintah pusat/daerah, diknas, depag, kepala sekolah, komite sekolah, guru dan masyarakat semua termasuk di dalamnya. Monitoring implementasi komitmen daerah penting dilakukan. Secara keseluruhan, kembali ke agenda penguatan civil society adalah jalan paling cerdas untuk mencegah rakyat dari ambivalensi politik elite negara dalam mewujudkan pemerataan pendidikan.

PENUTUP

Sebagai sebuah pilar utama dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, pendidikan memiliki peranan penting yang harus segera dibenahi dalam membangun bangsa. Pendidikan menjadi tolak ukur dalam kesejahteraan suatu bangsa. Sektor-sektor lain akan terbengkalai apabila pendidikan tidak dibenahi lebih dulu. Oleh karena itu, pendidikan perlu diberi porsi anggaran yang lebih tinggi untuk memajukan bangsa.
Anggaran pendidikan yang akan menyesuaikan dengan amanat undang-undang ini perlu dikelola dengan baik. Hal ini penting untuk menghindari biaya pendidikan yang dapat membebani rakyat yang sekarang masih banyak di level ekonomi menengah ke bawah. Anggaran tidak akan efektif seberapa besar pun banyaknya apabila tidak ditangani dengan baik.
Kemauan yang besar dari Pemerintah baik pusat maupun daerah sangat diperlukan. Lepas tanggung jawab dari pemerintah pusat dan daerah perlu ditiadakan dengan menyadari pentingnya sebuah pendidikan bagi sebuah bangsa. Program-program yang terencana dari pimpinan lembaga akan dapat mengefektifkan anggaran yang ada. Selain itu, pengggunaan yang efisien juga harus diperhatikan.
Guru dalam melaksanakan pembelajaran diharapkan menggunakan anggaran dengan produktifitas yang tinggi. Media-media dan alat-alat yang digunakan diharapkan lebih merupakan produk dari guru yang bersangkutan sehingga dana dapat diefisienkan. Sementara masyarakat yang mungkin berlebih dapat lebih banyak berpatisipasi dengan mendukung program pendidikan dengan dana. Pada akhirnya nanti, pendidikan yang bermutu dengan biaya yang murah bahkan gratis dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Ambo Enre, 2005, Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Gagasan dan Pengalaman, Yogyakarta: Pustaka Timur.

Arismunandar, 2006, Manajemen Pendidikan: Peluang dan Tantangan, Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar (UNM).

Fattah, Nanang, 2004, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Harian Kompas (22 Januari 2010)

Harian Kompas (8 Oktober 2009)

Rosyada, Dede, 2007, Paradigma Pendidikan Demokrasi: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sagala, Syaiful, 2007, Manajemen Stratejik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, Bandung: Alfabeta.

Soedijarto, 2008, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Suhartono, Suparlan, 2007, Filsafat Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz.

Surakhmad, Winarno, 2009, Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Tilaar, H.A.R, 2003, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

www. biayapendidikan.com/pemerataan-pendidikan.html

www.suarakarya-online.com

Selasa, 12 Oktober 2010

PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI INDONESIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDIDIKAN

PENDAHULUAN

Perubahan dan pembangunan sektor pendidikan tidak pernah akan mencapai tujuan akhir yang sempurna dan final. Hal ini terjadi karena konteks pendidikan selalu dinamis, berubah dan tidak pernah konstan, sesuai dengan perubahan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Terjadinya perubahan-perubahan itu tidak dapat dicegah oleh kekuatan apapun. Hal ini membawa dampak pada cepat usangnya kebijakan maupun praksisi pendidikan dan persekolahan di Indonesia.[1] Dalam konteks perubahan dan pengembangan pendidikan ini, patut kiranya kita perhatikan pernyataan John Dewey “the educational process has no end beyond itself; it is its own end; and that the educational process is one of continual reorganizing, reconstructing, transforming.[2]
Pengembangan dan perubahan pada sektor pendidikan sepertinya tidak bisa terlepas dari pengaruh perubahan sosial budaya dan ekonomi. Dalam kaitan ini terjadi hubungan timbal balik yaitu; perubahan sosial budaya dan ekonomi mempengaruhi pendidikan dan pendidikan mempengaruhi perubahan sosial budaya dan ekonomi. Perubahan sosial budaya dan ekonomi masyarakat sedikit banyaknya memiliki andil dalam perubahan dan pengembangan pendidikan terutama pada awal krisis tahun 1998. Hal ini tentu saja memerlukan pemikiran lanjutan untuk dapat kembali survive di tengah masih terasanya krisis yang dialami.
Perubahan sosial budaya dan ekonomi masyarakat terjadi seiring dengan perubahan dan pengembangan dunia ke depan. Perubahan ini tentu saja akan terus terjadi karena dengan perubahan itu suatu kelompok masyarakat dapat berkembang. Perubahan sosial budaya misalnya dapat dilihat dari perbedaan pola pikir masyarakat dulu dan sekarang.
Perubahan yang terjadi tentu saja bukan sebuah perubahan ke arah kemunduran, akan tetapi perubahan itu adalah berubahnya kehidupan ekonomi, politik dan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik. Menurut Inglehart deep-rooted changes in mass worldviews are reshaping economic, political and social life.[3] Dengan demikian, perubahan ini menjadi sebuah keharusan yang harus terjadi dan akan selalu terjadi. Hal ini dimungkinkan karena bagaimanapun ekonomi, politik dan sosial adalah hal yang sangat urgen dalam sebuah kehidupan bangsa dan keberadaan masyarakat di dunia.
Dalam kaitan perubahan sosial budaya dan ekonomi, pendidikan sebagai bagian dari sosial budaya turut berpengaruh pada perubahan sosial budaya dan ekonomi masyarakat. Dengan adanya peranan sosial budaya yang baik akan turut meningkatkan pendidikan demikian pula sebaliknya pendidikan yang baik melalui pembelajaran akan turut menanamkan nilai-nilai sosial dan budaya yang berisi aturan-aturan sosial, kewajiban sosial, interaksi sesama manusia dan lingkungan sekitar. Menurut Philip H. Phenix The process of learning a culture, called “socialization”, takes place by social interaction, through which internalized object are built up. Included among these internalizations are the many roles which define the system of duties toward others, and these enter into the structure of the developing social life.[4]
Demikian pula, kondisi ekonomi menentukan penyediaan berbagai fasilitas dan terselenggaranya pendidikan. Sebaliknya pula, pendidikan yang baik adalah cikal bakal pengembangan ekonomi. Investment in education certainly contribute to economic growth....... education is both the seed and the flower of economic development.[5] Lebih lengkap dikatakan the activity of education and training of all kinds has become one of the prime movers of development. It is contributes to scientific and technological progress, and to the widespread advance of knowledge, which are the most decisive factors of economic growth.[6]
Berdasarkan pernyataan di atas, maka dapat diambil asumsi bahwa pendidikan bisa menjadi agen perubahan sosial budaya masyarakat dan perubahan itu sendiri mengharuskan perubahan dan pengembangan kebijakan pendidikan. Kemudian, pendidikan akan menjadi instrumen terpenting dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM), sebaliknya SDM akan mampu menjadikan pendidikan ke arah pengembangan bangsa yang lebih baik.
Tulisan ini akan mencoba mengulas bagaimana kondisi perubahan sosial budaya dan ekonomi Indonesia dan pengaruhnya terhadap pengelolaan pendidikan serta kemajuannya. Tulisan ini disajikan dalam tiga pokok bahasan, yaitu; perubahan sosial budaya Indonesia, keadaan ekonomi Indonesia dan pengaruh kondisi sosial budaya dan ekonomi Indonesia terhadap pendidikan.

PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA INDONESIA

Menurut Tilaar tidak ada suatu masyarakat yang tidak berubah. Sosiologi sangat memperhatikan perubahan sosial (social change). Oleh sebab itu telah lahir berbagai jenis teori mengenai perubahan sosial.[7] Philip H. Phenix menjelaskan social change can be analyzed in terms of the concepts of structure, function and social needs. While no exact laws of social behavior have yet been formulated, some insight may be gained into the basis for individual conformity and deviation and for the transformation that take place in cultures, institutions, norms, roles and rankings as a result of internal stresses, environmental factors, or external pressures.[8]
Tilaar mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi di masyarakat disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu; kebutuhan akan demokratisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi.[9] Pertama, demokratisasi menjadi sangat berpengaruh mengingat masyarakat dunia menjadi masyarakat tanpa sekat yang harus saling berpengaruh dan saling membutuhkan. Kedua, Kemajuan teknologi telah pengaruh yang besar terhadap perubahan suatu masyarakat. Kemajuan ini disebabkan oleh kebutuhan umat manusia untuk lebih cepat dalam bertindak dan untuk memudahkan segala kebutuhan manusia yang ada serta didasarkan pada keingintahuan manusia Ketiga, globalisasi sangat berpengaruh bagi perubahan mengingat hubungan antar manusia akan terasa lebih dekat dan saling bersaing.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa terdapat kekuatan-kekuatan yang dapat mempengaruhi adanya perubahan sosial di tengah masyarakat. Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia juga akan terkena dampaknya. Masyarakat Indonesia dewasa ini sangat bergantung dan terpengaruh oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi informasi. Sebagaimana bisa disaksikan bahwa pengaruh teknologi sudah merambah sampai ke pelosok-pelosok desa yang dulu merupakan masyarakat yang kurang mendapatkan akses keluar. Teknologi ini dapat kita lihat perkembangannya pada seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa bangsa Indonesia ke masa transisi yang sangat sulit. Kehidupan politik, ekonomi dan sosial sangat berbarengan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan ini perlu dihadapi dengan sangat cepat dan tepat sehingga masyarakat kita tidak akan menjadi sasaran negatif dari sebuah teknologi, akan tetapi dapat menjadi pemain untuk mengarahkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada untuk dimanfaatkan menjadi kekuatan yang dapat membangun masyarakt Indonesia yang lebih baik. Idealnya untuk dapat memberikan arah yang jelas terhadap perubahan ini, pendidikan adalah solusi yang terbaik. Pendidikan harus mampu menjadi penyaring antara kekuatan positif dan negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemajuan komunikasi dan teknologi informasi menyebabkan dewasa ini para siswa mendapatkan semburan informasi yang amat deras, jauh lebih deras dari yang pernah dialami orang tua mereka. Puluhan ribu halaman dicetak baik dalam wujud buku, majalah atau koran beredar di masyarakat. Banyak TV dipancarkan masing-masing stasiun televisi dengan jam tayang amat panjang. Di balik perubahan yang amat cepat dalam kehidupan bermasyarakat, anehnya, pendidikan sendiri selama ini tidak mengalami perubahan yang berarti. Sekolah dewasa ini sama dengan sekolah masa lampau. Bagaimana keadaan sekolah dan kelas, bagaimana guru mengajar, bagaimana siswa belajar dan bagaimana hubungan di antara warga sekolah sama dengan lima puluh tahun yang lampau.[10]
Perubahan nilai sosial budaya juga bisa dirasakan ketika kita melihat maraknya kekerasan, perkelahian antar peserta didik baik individual maupun kelompok sampai meminta korban jiwa, menyontek sudah menjadi hal yang wajar, penjiplakan karya tulis berkembang, demo oleh guru bermunculan, sampai dengan penyalahgunaan narkoba masuk dalam lemabag pendidikan.
Perubahan yang dapat kita lihat juga sebagai akibat dari perubahan sosial adalah keinginan banyak pihak untuk membangun otonomi daerah yang terarah. Otonomi daerah ini adalah akibat dari kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi perubahan sosial tadi. Pada dasarnya tujuan dari adanya otonomi daerah sangat relevan dengan reformasi yang sedang dibangun masyarakat sekarang ini, akan tetapi dampak negatif yang bisa timbul adalah disintegrasi bangsa apabila tidak diarahkan dengan baik.
Kebijakan otonomi daerah untuk menjawab tuntutan lokal dan desakan kecenderungan arus global perlu diarahkan dan dicermati dengan baik mengingat kondisi masyarakat dan daerah yang beragam dan sangat rentan terhadap perpecahan bangsa. Perubahan sosial, politik dan pembangunan daerah dari model sentralistis ke desentralisasi, bukanlah perkara yang mudah dalam prosesnya. Perubahan ini memerlukan perubahan sikap dan mental yang baik dari seluruh aparat di dalamnya. Menurut Muchsan terdapat sendi-sendi otonomi yang harus terpenuhi dalam melaksanakan otonomi daerah; 1) pembagian kewenangan (sharing of power), 2) pembagian pendapatan (distribution of income), dan 3) kemandirian atau penguatan daerah (empowering).[11] Oleh karena itu, perlu adanya persiapan yang matang, terencana, seksama, bertahap dan berkelanjutan dalam melaksanakan otonomi daerah sebagai bentuk dari perubahan sosial masyarakat Indonesia.
Perubahan sosial yang berdampak pada perilaku keseharian sosial di Indonesia serta adanya otonomi daerah perlu dihadapi dengan pendidikan. Pendidikan harus mampu menjadi agen perubahan yang dapat memberikan perubahan positif terhadap perubahan sosial. Pendidikan harus mampu mengembangkan kreativitas dan pikiran masyarakat guna menemukan sesuatu yang baru dan berguna bagi perbaikan masyarakat. Makin banyak masyarakat yang menampilkan kemampuan kreativitasnya, masyarakat akan kaya dengan perubahan-perubahan. Introduktif hal-hal baru, produk perubahan masyarakat, ke dalam lembaga pendidikan akan memperbesar peluang berkembangnya kreativitas peserta didik. Dengan kata lain, proses pembelajaran yang mengembangkan kreativitas peserta didik dan memproduksi perubahan masyarakat akan lebih memperkaya peran pendidikan dalam upaya perubahan sosial ke arah yang berkualitas.[12]

KONDISI EKONOMI INDONESIA

Negara Indonesia yang merdeka sejak 17 Agustus 1945 hingga saat ini masih termasuk dalam Negara Dunia Ketiga. Dunia pada saat itu dilihat dari pola kemajuannya yang ditandai dengan klasifikasi tiga kelompok negara yaitu: Dunia Pertama (Dunia Bebas atau Blok Antlantik meliputi Eropa Non Komunis dan Amerika Utara), Dunia Kedua (meliputi negara – negara Eropa Timur dan Blok Uni Sovyet), dan Dunia Ketiga (meliputi Asia, Afrika dan Amerika Latin).[13]
Ada beberapa nama tambahan yang diberikan kepada negara – negara yang termasuk Dunia Ketiga (the third world) antara lain, negara terbelakang (backward countries), negara yang belum maju termasuk Indonesia saat ini (under developed countries), negara selatan, dan nama negara–negara miskin (un-developing countries). Umumnya nama yang diberikan memiliki tiga ciri umum yaitu 3K, Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan yang diukur dari indikator GNP per kapita, pendapatan bersih per kapita, jumlah pemakaian energi per kapita, pendapatan bersih per kapita, jumlah pemakaian energi per kepala, tingkat melek huruf, tingkat kematian bayi dan ukuran–ukuran sosial lainnya.
Untuk menggambarkan dunia ketiga (the third world), kita bisa simak pernyataan Philip Kotler berikut; third world economies are victims of a vicious cycle. A several fiscal crisis plagues goverments bedeviled by chronic and huge budget deficits. These deficits partly came from bankruptcy of state-owned enterprises, ill-considered increases in social spending, and over-growth of the public sector. To sustain the deficits, these governments incurred heavy debt burdens. Thid forced them to cut back sharply on investment in both physical and social infrastructure. The poor infrastructure leads to low investment formation. This is turn leads to low wages and low employment rates, which lead to low consumption and poor motivation. These last two result in low productivity.[14]
Indonesia di masa Orde Lama (Soekarno, 1945 – 1966) lebih banyak konflik politiknya daripada agenda ekonominya. Kondisi ekonomi saat itu sangat parah dengan ditandai tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara tahun 1964 – 1965 dan masih mencapai 697% antara tahun 1965 – 1966. Glassburner melukiskan ekonomi Indonesia seperti tidak confidence, dikatakan bahwa when Indonesia achieved sovereignty in December 1949, her economic situation was not one to inspire confidence in her future. This plight was nowhere more dramatically indicated than in her desperate shortage of high level manpower of all varieties.[15]
Indonesia sejak tahun 1967, dibawah pemerintahan militer (Soeharto, 1965 - 1998), menjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow dalam melakukan pembangunan ekonominya. Dalam teori ini, ada lima tahap pertumbuhan ekonomi yaitu, tahap pertama ‘Masyarakat Tradisional’ (The Traditional Society), tahap kedua ‘Pra Kondisi untuk Tinggal Landas’ (The Preconditions for Take-off), tahap ketiga ‘Tinggal Landas’ (The Take-off), tahap keempat ‘Menuju Kedewasaan’ (The Drive to Maturity) dan tahap kelima ‘Konsumsi Massa Tinggi’ (The Age of High Mass-Consumption). Namun pada tanggal 21 Mei 1998, Indonesia mengalami Krisis Moneter yang membuat Soeharto lengser (runtuhnya rezim Orde Baru). Indonesia belum sempat “tinggal landas” malah kemudian “meninggalkan landasannya” hingga lupa pijakan ekonominya rapuh dan mudah hancur.
Pembangunan ekonomi Orde Reformasi (1998 – 2007/sekarang) berjalan tak jelas arahnya. Masa tahun 1998 – 2004 adalah masa transisi dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang ditandai dengan silih bergantinya Presiden Republik Indonesia dalam waktu relatif singkat. Dari B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid kemudian Megawati, semuanya belum menunjukkan pembangunan ekonomi yang berarti. Pembangunan ekonominya berjalan terseok – terseok sebagai akibat kebijakan Rezim yang lalu (Orde Baru) yang membuat pijakan/pondasi ekonominya sangat rapuh dan mudah hancur tersebut, disambut dengan gegap gempita euforia politik rakyat Indonesia yang selama masa Orde Baru dikekang kemudian menjadi bebas lepas di masa Orde Reformasi ini. Dalam masa ini, Indonesia masih mencari jati dirinya kembali dengan mencoba menerapkan demokrasi yang sesungguhnya yang ternyata sangat mahal biayanya. Praktis, dana pembangunan banyak teralokasikan untuk pembiayaan pesta demokrasi tersebut, mulai dari Pemilihan Presiden (PILPRES, periode 2004 - 2009) langsung oleh rakyat, yang menghasilkan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI, hingga berbagai Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) yang masih berlangsung silih berganti hingga saat ini di berbagai daerah di wilayah nusantara ini.
Kondisi ekonomi Indonesia mulai membaik dan terkendali setelah dua tahun masa pemerintahan SBY. Sedikit demi sedikit dana subsidi MIGAS ditarik oleh pemerintah mulai dari Bensin, Solar kemudian Minyak Tanah yang selama ini membebani pemerintah. Pemerintah cenderung menyerahkan harga barang pada mekanisme pasar. Interaksi ekonomi domestiknya berwawasan internasional dan mengikuti sistem ekonomi internasional. Secara ekonomi memang menunjukkan kondisi membaik, namun rakyat Indonesia masih banyak yang miskin, pengangguran belum bisa diatasi pemerintah, nilai rupiah masih sekitar 9.000-an per 1 US$, kemampuan daya beli masyarakat Indonesia masih rendah, korupsi masih tinggi tercatat Indonesia termasuk dalam peringkat kelima negara terkorup di dunia dan sebagainya.

PENGARUH KONDISI SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI INDONESIA TERHADAP PENDIDIKAN

Melihat kondisi sosial budaya dan ekonomi Indonesia di atas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah pendidikan terpengaruh dengan hal itu? Kemudian apakah pendidikan juga harus mengalami perubahan seiring dengan perubahan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat. Hal ini sangat tepat didiskusikan mengingat pendidikan adalah bagian dari perubahan sosial budaya dan ekonomi begitupun sebaliknya.
Setelah 65 tahun merdeka, persoalan paling mendasar negara kita adalah masalah sosial dimana masih terjadi kemiskinan, kelaparan, banyaknya anak usia sekolah yang tidak mengecap pendidikan, pengangguran, rendahnya kesehatan, mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan, ancaman disintegrasi bangsa, budaya dan etika bangsa yang terkikis (terutama dengan maraknya kasus video porno) serta masih banyak lagi masalah yang terkait dengan sosial budaya dan ekonomi.
Kondisi-kondisi di atas sangat berbeda jauh dengan tujuan pembangunan Indonesia. Sodijarto mengatakan bahwa tujuan pembangunan setiap negara, paling tidak negara merdeka yang demokratis, adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat yang wujudnya berupa meningkatnya penghasilan sehingga dapat bertahan hidup, meningkatkan derajat kesehatan, meningkatnya kualitas pendidikan, serta meningkatnya rasa aman baik fisik maupun psikis spiritual. Dalam rumusan populer masyarakay yang adil dan makmur. Untuk Indonesia perlu ditambah dengan kualifikasi berdasarkan Pancasila.[16]
Adanya kesenjangan antara tujuan pembangunan dan kondisi masyarakat di atas tidak bisa dilepaskan dari kebijakan dan praktek pendidikan. Berdasarkan aspek perubahan sosial, Menurut Tilaar kebijakan dan praktek pendidikan perlu ditransformasi dari pandangan pedagogik tradisional menjadi pedagogik modern (pedagogik transformatif). Titik tolak pedagogik transformatif ialah “individu-yang-menjadi”. Hal ini berarti seorang individu hanya dapat berkembang di dalam interaksinya dengan tatanan kehidupan sosial budaya budaya di mana ia hidup. Individu tidak akan berkembang apabila diisolasikan dari dunia sosial budaya di mana ia hidup. Hal ini berarti adanya suatu pengakuan peran aktif partisipatif dari individu-yang-menjadi dalam tatanan kehidupan sosial dan budayanya. Individu bukanlah sekedar menerima nilai-nilai budaya yang datang dari luar, tetapi nilai-nilai tersebut hanya dapat dimilikinya melalui peranannya yang aktif partisipatif di dalam aktifitas sosial budaya dalam lingkungannya.[17]
Hampir senada dengan pernyataan di atas, Zamroni mengemukakan bahwa pendidikan sekarang dilaksanakan secara mekanik-reduksionisme, determinasi yang bersumber pada era teknologi Newton. Paradigma ini telah mereduksi makna pendidikan menjadi sekolah. Lebih jauh, sekolah pun sudah direduksi dan disederhanakan menjadi suatu rangkaian dari ketersediaan input, berlangsungnya proses, dan menghasilkan output. Input dalam pendidikan berupa peserta didik yang disebut the raw input, guru, kurikulum, manajemen dan fasilitas fisik yang disebut sebagai the instrumental input. Keseluruhan input tersebut akan menyatu dalam proses sehingga menghasilkan output, yang berupa lulusan dengan kemampuan yang telah dicapai. Kemampuan siswa ini juga direduksi dan disederhanakan dalam wujud skor nilai. Learning juga disederhanakan menjadi teaching, sebagai proses transformasi pengetahuan kepada peserta didik untuk diingat-ingat dan kemudian disajikan kembali oleh peserta didik manakala menghadapi tes. Sifat-sifat ingin tahu dan kreatifitas tidak lagi mendapat tempat yang wajar. Demikian juga, materi pelajaran disederhanakan menjadi “hanya yang ada pada buku teks”. Yang dikaji di ruang-ruang kelas tidak perlu dikaitkan dengan realitas yang ada di masyarakat.[18]
Kondisi-kondisi kebijakan pendidikan juga bisa dilihat pada penyelenggaraan ujian nasional (UN). UN berdampak pada 1) peserta didik akan mempelajari, umumnya menghafal, tentang apa yang diujikan, 2) guru akan membantu melatih peserta didik cara menjawab soal-soal ujian, 3) sekolah akan berusaha keras menyusun program termasuk mengadakan kegiatan bimbingan tes, 4) orang tua akan mendorong anak-anaknya untuk persiapan mengikuti UN, 5) Pemda dan pejabat pendidikan ikut berupaya agar peserta didik, kalau bisa lulus semua, dan 6) penerbit buku berlomba menerbitkan buku soal-soal UN dan jawabannya. Kondisi seperti ini jelas bertentangan dengan fungsi, tujuan dan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional yang dianut oleh pemerintah sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003.[19]
Kebijakan-kebijakan pendidikan seperti yang dikemukakan di atas, jelas akan sangat berpengaruh kepada perubahan sosial budaya masyarakat. Kondisi sosial seperti; kekerasan, perkelahian, menyontek, penjiplakan karya tulis, demo oleh guru bermunculan, penyalahgunaan narkoba. Selain itu, kurangnya kreatifitas, kurang peduli dan menghargai sesama dan alam sekitar, kurangnya demokrasi dan lain sebagainya, mungkin saja adalah hasil dari kebijakan pendidikan yang selama ini dilaksanakan. Sehingga perubahan sosial yang diinginkan malah melenceng kepada perubahan yang tidak diinginkan.
Berdasarkan aspek ekonomi, kita melihat pendidikan sebagai pengembangan sumber daya manusia. Dikatakan bahwa this progress is due above all to the capacity of humanity to control and organize its environment in accordance with its needs, in other words, to science and education, the main driving forces of economic progress.[20]
Kita bisa melihat bahwa pembangunan ekonomi tidak bisa dilepaskan dengan pembangunan pendidikan, begitu pun sebaliknya. Oleh karena itu, seyogyanya pemerintah mengalokasikan dana yang besar untuk pendidikan sehingga pada akhirnya nanti dapat membantu meningkatkan pengembangan ekonomi.
Kaitan antara pendidikan dan ekonomi dapat dilihat pada pernyataan Soedijarto berikut; penanaman modal di bidang ekonomi, baik manufakturing, industri jasa, dan industri lainnya dapat membuka lapangan kerja. Namun makin canggih suatu perusahaan, makin meningkat pula kualifikasi pendidikan yang dituntut dari karyawan. Dengan kata lain, dengan berkembangnya dunia usaha yang sehat, yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara melalui penerimaan pajak, akan meningkat pula pendapatan pemerintah sehingga mampu membiayai layanan pendidikan yang bermutu.[21] Maka tidak heran suatu masyarakat mendorong pembangunan ekonomi melalui pengembangan ekonomi seperti pada Confucian society. Confucian society encouraged economic growth through its support of education and achievement.[22]
Demikian pula pernyataan Philip Kotler yang menyatakan bahwa without sustained and continues economic progress at the individual and societal level, human potential will not be realized. One clearly has to “have enough in order to be more”. Rising per capita incomes, the elimination of absolute poverty, greater education and employment opportunities, and lessening income inequalities therefore constitute the “necessary”, albeit not sufficient, goals for development.[23]
Berdasarkan keterkaitan tersebut, sangatlah mungkin dan wajib bahwa pemerintah harus berinvestasi dalam pendidikan untuk memajukan ekonomi negara. Ekonomi yang baik ditopang oleh kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola semua sumber daya alam yang ada sehingga kita sebagai bangsa tidak lagi meminjam tenaga-tenaga asing untuk mengeksplitasi alam kita, yang biasanya biayanya mahal dan kurang peduli pada lingkungan sekitar, dan tentu saja kemampuan ini hanya diperoleh dari pendidikan.
Education system can therefore no longer be expected to train labour force for stable industrial jobs; they must instead train individuals to be innovative, capable of evolving, adapting to a rapidly changing world and assimilating change.[24] Dengan hasil pendidikan yang demikian akan membawa perubahan pada pembangunan ekonomi negara. Negara akan mengalami kemajuan pada ketersediaan sumber daya manusia yang dapat menambah nilai pendapatan atau devisa negara.

SIMPULAN DAN SOLUSI

Setelah menjelaskan berbagai hal tentang bagaimana kondisi sosial budaya dan ekonomi Indonesia serta pengaruhnya terhadap pendidikan, maka dapat disimpulkan bahwa; telah terjadi perubahan yang signifikan terhadap masyarakat kita. Nilai-nilai sosial budaya telah terkikis seiring dengan masih banyaknya kemiskinan yang terjadi. Hal ini tentu saja turut dipicu oleh pendidikan. Dengan demikian kesimpulan selanjutnya adalah kebijakan pendidikan harus berubah untuk dapat merubah kondisi sosial budaya masyarakat, dan investasi di bidang pendidikan harus ditingkatkan untuk dapat membangun ekonomi negara.
Beberapa hal sebagai solusi adalah; dari aspek perubahan sosial budaya, pernyataan Tilaar bahwa pendidikan harus memakai pendekatan pedagogy transformatif yang menekankan adanya pelibatan siswa pada interaksi dengan masyarakat. Senada dengan itu, Zamroni juga menekankan adanya interaksi yang lebih beragam di sekolah, proses pembelajaran yang learning bukan sekedar teaching, dan terakhir sekolah harus bersifat adaptive.[25]
Dari aspek ekonomi, pemerintah seyogyanya memberikan anggaran yang cukup terhadap pendidikan. Menurut Soedijarto anggaran sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN agar sekolah kita bermutu. Bermutu berarti memiliki fasilitas yang memadai, kurikulum dan kelengkapannya, tenaga pendidik yang kompeten, waktu belajar, sistem evaluasi yang baik serta lingkungan sekolah yang kondusif.[26] Lanjut dari pada itu, pemerintah harus membuat kebijakan dalam mengembangkan kemampuan SDM dengan lebih banyak berinvestasi dalam pendidikan sehingga kesenjangan antara SDM dan kebutuhan kerja dapat teratasi. Menurut Frederick Harbison policy should be cntinue to push expansion of enrollment at the maximum rate that resources will allow-rapidly enough to increase the absolute number of persons in the high-level manpower category and to raise the ratio of such manpower resources to the labor force and total population as well. No economic growth goal that is consistent with the high level of aspirations in the Indonesian leadership elite group is likely to be possible of attainment unless this policy orientation is adopted.[27]
Lanjut Soedijarto mengatakan bahwa melalui pendidikan yang bermutu dan merata akan lahir manusia terdidik yang cerdas, berkarakter, dan terampil/profesional sehingga siap memasuki dunia kerja yang dibuka oleh perusahaan yang sehat. Namun bila bangkitnya dunia usaha bergantung pada dana dari pemerintah, misalnya dengan pinjaman luar negeri, akibatnya akan sebaliknya.[28] Manusia yang cerdas, berkarakter, dan terampil adalah aset negara yang akan meningkatkan penghasilan negara dan membuat ekonomi bangsa kita lebih baik.
Dengan adanya kepedulian terhadap pendidikan baik dari segi perubahan atau transformatif pendidikan ataupun terhadap pembiayaan pendidikan, maka sangat diharapkan bahwa pendidikan akan menjadi pilar utama dalam memajukan semua sektor, sosial budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Untuk membangun sebuah negara adalah membangun pendidikannya (to build nation build schools).





DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Ambo Enre, 2005, Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Gagasan dan Pengalaman, Yogyakarta: Pustaka Timur.

Bruner, Jerome S., 1973, The Relevance of Education, Toronto, Canada.

Delors, Jacques, et.al, 1996, Learning: The Treasure Within, The Report to UNESCO of International Commission for The Twenty-First Century, Paris: UNESCO.

Dewey, John, 1964, Democracy and Education, New York: The Macmillan Company.

Harbison, Frederick & Charles A. Myers, 1965, Manpower and Education: Country Studies in Economic Development, New York: McGraw-Hill Book Company.

Inglehart, Ronald, 1997, Modernization and Postmodernization: Cultural, Economic and Political Change in 43 Societies, Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

Kotler, Philip, et.al., 1997, The Marketing of Nations: A Strategic Approach to Building National Wealth, New York: The Free Press.

Phenix, Philip H., 1964, Realms of Meaning: A Philosohy of The Curriculum for General Education, New York: McGraw-Hill Book Company.

Prayitno, Eddy, http://tulisan2.blog.dada.net/post/688123/

Soedijarto, 2008, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Sodijarto, 2010, Ujian Nasional (UN) Pada Hakekatnya Tidak Sesuai Dengan Hakekat, Tujuan dan Prinsip Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional, Makalah, Disajikan dalam Diskusi “UN Menuju Pendidikan Bermutu” yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR RI, 15 Januari 2010.

Suyanto, 2002, Tantangan Global Pendidikan Nasional, dalam buku Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru: 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Jakarta: Grasindo.

Tilaar, H.A.R., 2002, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif Untuk Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo.

Tilaar, T.A.M., 2002, Peran Perguruan Tinggi di Daerah Dalam Otonomi Daerah, dalam buku Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru: 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Jakarta: Grasindo.

Zamroni, 2002, Paradigma Pembangunan Pendidikan Nasional Dalam Mewujudkan Peradaban Bangsa, dalam buku Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru: 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Jakarta: Grasindo.



[1] Suyanto, 2002, Tantangan Global Pendidikan Nasional, dalam buku Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru: 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Jakarta: Grasindo, h. 98.
[2] John Dewey, 1964, Democracy and Education, New York: The Macmillan Company, 1961, h. 50.
[3] Ronald Inglehart, 1997, Modernization and Postmodernization: Cultural, Economic and Political Change in 43 Societies, Princeton, New Jersey: Princeton University Press, h. 3.
[4] Philip H. Phenix, 1964, Realms of Meaning: A Philosohy of The Curriculum for General Education, New York: McGraw-Hill Book Company, h. 131.
[5] Frederick Harbison & Charles A. Myers, 1965, Manpower and Education: Country Studies in Economic Development, New York: McGraw-Hill Book Company, h. x & xi.
[6] Jacques Delors et.al, 1996, Learning: The Treasure Within, The Report to UNESCO of International Commission for The Twenty-First Century, Paris: UNESCO, h. 72.
[7] Tilaar, H.A.R., 2002, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif Untuk Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo, h. 3
[8] Philips H. Phenix, Op.cit, h. 132.
[9] Tilaar, Ibid. h. 22
[10] Zamroni, 2002, Paradigma Pembangunan Pendidikan Nasional Dalam Mewujudkan Peradaban Bangsa, dalam buku Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru: 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Jakarta: Grasindo, h. 34.
[11] T.A.M. Tilaar, 2002, Peran Perguruan Tinggi di Daerah Dalam Otonomi Daerah, dalam buku Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru: 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Jakarta: Grasindo, h. 223.
[12] Ambo Enre Abdullah, 2005, Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Gagasan dan Pengalaman, Yogyakarta: Pustaka Timur, h. 5
[13] Eddy Prayitno, http://tulisan2.blog.dada.net/post/688123/
[14] Philip Kotler et.al., 1997, The Marketing of Nations: A Strategic Approach to Building National Wealth, New York: The Free Press, h. 13.
[15] Frederick Harbison & Charles A. Myers, 1965, Op.cit., h. 173.
[16] Soedijarto, 2008, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, h. 310.
[17] Tilaar, H.A.R., 2002, Op. Cit,. h. 6.
[18] Zamroni, 2002, Op. Cit., h. 35-36.
[19] Sodijarto, 2010, Ujian Nasional (UN) Pada Hakekatnya Tidak Sesuai Dengan Hakekat, Tujuan dan Prinsip Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional, Makalah, Disajikan dalam Diskusi “UN Menuju Pendidikan Bermutu” yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR RI, 15 Januari 2010.
[20] Jacques Delors et.al, 1996, Op.cit., h. 71.
[21] Soedijarto, 2008, Op.cit., h. 315.
[22] Ronald Inglehart, 1997, Op.cit, h. 3.
[23] Philip Kotler et.al., 1997, Op.cit, h. 23
[24] Jacques Delors et.al, 1996, Op.cit., h. 71
[25] Tilaar, H.A.R., 2002, Op. Cit,. h. 6, dan Zamroni, 2002, Op. Cit., h. 35-36
[26] Soedijarto, 2008, Op.cit., h. 349.
[27] Frederick Harbison & Charles A. Myers, 1965, h. 201.
[28] Sodijarto, 2008, Ibid., h. 315